Rabu, 07 Mei 2008

MANDIKAN AKU BUNDA! .... OHHHHHHHHHHH

MANDIKAN AKU BUNDA!

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan
memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya
sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang
akan digelutinya. ''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip seorang
mantan presiden Amerika.

Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di
Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih
memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Berikutnya, Rani mendapat
pendamping yang ''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda
profesi.

Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf
diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah
kebahagiaan mereka.
Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ''alif''
dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya
tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang
pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani
semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu
kotake kotalain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya
pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? ''
Dengan sigap Rani menjawab, ''Oh, saya sudah mengantisipasi segala
sesuatunya. Everything is OK!'' Ucapannya itu betul-betul ia buktikan.
Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby
sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif
tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang
itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar,
tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak. ''Contohlah
ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu nenek Alif,
ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik.
Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali
menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk
menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini
''memahami'' orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek
minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan
perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali
ngambek.
Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria.
Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''. Sungguh keluarga yang
bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap
tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif
menolak dimandikan baby sitter. ''Alif ingin Bunda mandikan,'' ujarnya
penuh harap.
Karuan
saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia
menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan
keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi
dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian
menurut, meski wajahnya cemberut.

Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ''Bunda, mandikan aku!''
kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir,
mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak
lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa
ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter.
''Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.''
Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah swt
sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil
pulang oleh-Nya.

Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia
shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah
memandikan putranya.
Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen
untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil
terbaring kaku. ''Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,'' ucapnya lirih,
di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari
sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri
mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu,
berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya
ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga
kan?'' Saya diam saja.
Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung
seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini
konsekuensi sebuah pilihan,'' lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat.
Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.

Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas
tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis,
lebih-lebih tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan
Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..''
Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan
tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang
menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.

Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.

Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan
yang amat sangat.

Mari kita sama-sama meng-instropeksi diri kita masing-masing terhadap
sang Buah hati kita........ .

(sumber milist gm2020)

Tidak ada komentar: