Rabu, 25 Juli 2007

Tutup IPDN Sekarang Juga Atau Akan ada Korban Lagi .!!!

Rabu, 25 Juli 2007
EDITORIAL MEDIA INDONESIA
Tutup IPDN Sekarang Juga

KEKERASAN di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) ibarat wabah yang menular. Setelah memangsa sesama praja di dalam kampus, kini virus kekejaman produk kampus Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, itu menjalar ke luar kampus. Warga sekitar pun jadi korban.

Wendi Budiman, warga Jatinangor, tewas dikeroyok praja IPDN hanya karena merokok di dalam lift di Jatinangor Town Square. Seorang praja tersulut rokok Wendi, kemudian para calon pamong itu beramai-ramai menggebuk Wendi.

Delapan praja telah ditetapkan sebagai tersangka. Ada di antara mereka sedang menunggu wisuda. Kasus ini menambah panjang deretan korban akibat kekejaman para praja IPDN.

Sudah berkali-kali praja sekolah pamong ini bersikap brutal. Brutal karena membunuh sesama praja secara keji, kemudian secara munafik menyembunyikannya dalam kemasan yang apik. Alasannya praja meninggal karena sakit, karena jatuh dan berbagai alasan lain sebelum Inu Kencana, seorang dosen IPDN, membongkar praktik kelam di kampus itu.

Selimut hitam yang bertahun-tahun membungkus kampus tersebut terungkap setelah kematian Cliff Muntu, praja asal Sulawesi Utara, beberapa bulan lalu. Cliff tewas akibat kebengisan para seniornya. Sejak itu jejak kekerasan terhadap para praja terungkap satu per satu. Masyarakat berbagai lapisan mengecam kekejaman yang dipraktikkan para praja dan menuntut agar IPDN dibubarkan.

Kekerasan sudah menjadi tradisi di kampus yang seharusnya melahirkan para pamong itu. Kekerasan itu tidak hanya menyeret para praja ke depan pengadilan, tapi juga dosen dan pembina. Kekerasan sudah terstruktur dan menjadi sistem yang melekat membentuk budaya yang subur di IPDN.

Budaya kekerasan di IPDN tampak jelas dari perangai para praja. Di tengah sorotan tajam berbagai lapisan masyarakat, kekerasan masih saja mencuat. Dan lebih tragis kali ini meluas ke masyarakat.

Para praja seakan tidak punya sensitivitas sedikit pun. Tidak ada kehendak memperbaiki citra kampusnya yang tengah disorot publik.

Masih saja ada rasa superioritas di kalangan praja yang tidak mencerminkan sebagai orang terdidik. Sebaliknya yang dipertontonkan adalah kekuatan otot bak preman penjaga pasar.

Kita sedih, sangat sedih dengan tabiat seperti ini. Mereka yang seharusnya menjadi pamong dan pelindung, malah menjadi pembunuh rakyatnya sendiri. Rakyat yang membiayai sekolah mereka malah dibunuh secara keji.

Tidak ada lagi cara yang lebih tepat selain menutup sekolah itu. Jika sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan agar pada 2007 ini IPDN tidak menerima praja baru, ternyata itu tidak mujarab sebagai terapi kejut untuk mengubah kultur kekerasan di IPDN.

Banyak pihak, termasuk warga Jatinangor, mendesak agar pemerintah menutup kampus itu. Warga Jatinangor kian khawatir, kekerasan bakal terus meluas dan mereka akan menjadi korban. Mengerikan. Kampus yang seharusnya melahirkan tunas-tunas terdidik, melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa untuk masa depan, ternyata menjadi tempat persemaian para pembunuh. Menakutkan.

Menyebut nama IPDN yang terbayang bukanlah sosok pamong yang idealis, yang santun, tapi wajah-wajah yang menakutkan dan menyeramkan di balik atribut dan berbagai tanda kepangkatan.

Untuk kesekian kalinya harian ini mengingatkan agar kampus itu ditutup. Negeri ini tidak kehilangan apa-apa tanpa kampus itu. Negeri ini memerlukan gubernur, bupati, dan camat yang waras, bukan pamong yang suka main tendang dan tempeleng. Rakyat kian cerdas dan membutuhkan pamong yang berpikir jernih dan bertindak santun, bukan pembunuh.

Pemerintah tidak perlu membuang waktu dan uang untuk memelihara kampus tersebut. Kita tidak perlu menunggu jatuhnya korban lebih banyak.

Tutup IPDN sekarang juga!

Tidak ada komentar: